Thursday, May 15, 2014

cerpen " JILBAB JELITA"


“Duh, terlambat…!” Lita tergopoh-gopoh masuk ke halamnan parkir sebuah Sekolah Dasar. Hari ini adalah pertemuan awal tahun ajaran baru, bagi para wali murid SD Nurul Hayat. Ia hadir di sana menggantikan kakaknya yang berhalangan hadir .
setelah memarkir motor  bebeknya, lita kebingungan . “ Aula, mana aula?” dia menoleh kiri kanan. Karena  tidak memperhatikan jalan, dia menabrak punggung seorang laki-laki  .
“aduh..! jangan berdiri di tengah jalan dong!” sembrotnya sambil memegang  jidat
“maaf mbak, saya sudah mingir. Tapi mbaknya aja yang jalanya miring-miring, “ jawab lelaki itu kalem.
Sebenarnya orang itu benar, tapi lita sudah terlanjur malu dan berniat untuk marah demi menutupinya. Tapi saat menatap wajah orang yang di tabraknya, entah mengapa dia terpaksa menelan amarahnya.
“sory……! Saya lagi cari….. eh….. anu….. aula,” kata lita terbata-bata. Jantungnya berdegup kencang saat sekian detik menatap wajah sabar lelaki itu.
“ mbak lurus aja, mentok belok kanan ya,” jawab sambil tersenyum.
Di depan mulut aula, lita terkaget-kaget. Semua perempuan-perempuan yang duduk di dalam ruangan yang hampir penuh itu semua berjilbab. Sementara dia tidak. Dengan salah tingkah, dia masuk kedalam aula dan mencari tempat duduk. Ia merasa semua mata memandang aneh padanya. Lita berusaha tidak peduli, tapi perasaanya tetap tak enak juga.
Ketika acara di mulai barula lita tau siapa lelaki yang tadi di tabraknya Azzam namanya, ustad kelas   1 yang nantinya akan menjadi guru Rara, keponakanya. Sebelum acara selesai, kepala sekolah mengumumkan agar para wali murid mengambil seragam dan pelengkapan sekolah di kelas masing-masing
Saat mengambil seragam yang kebetulan dibagikan langsung oleh ustadz Azzam, perasaan lita kembali tak karuan.
“Ibunya Aisyah Azzahra ya? “ Tanya ustad Azzam saat lita menandatangani lembar tanda terima
“bukan, saya tantenya”
“Oh….!! O ya, ini buku panduan dan program semester SD Nurul Hayat. Mohon di baca ya, terutama halaman 5.”
Kening lita berkerut sebelum berterima kasih dan melangkah pergi. Di bukanya buku program panduan itu langsung di halaman 5. “PERATURAN SEKOLAH. Nomor 11. Komplek SD Nurul Hidayat adalah area wajib berjilbab. Lita bisa merasakan pipinya memanas. Batinya serasa di tohok tinju Muhammad Ali.
***
Tugas Lita selanjutnya adalah mengantar jemput Rara. Kebetulan waktu masuk dan pulang keponakan semata wayangnya itu hampir bersamaan dengan jadwal kuliah Lita. Kebetulan juga lokasi SD Nurul Hayat searah dengan kampusnya.
Sejak punya tugas baru, Lita selalu membawa selembar kerudung dan cardigan dalam tasnya, keduanya akan di kenakan di tempat parkir SD Nurul Hayat tiap akan menjemput Rara.
“Begitu lebih baik, mbak.” Sebuah suara mengusik konsentrasi Lita yang sedang menanti Rara sambil membaca di teras masjid sekolah. Lita mendongok senyumnya langsung merakah begitu tahu siapa yang menyapanya. Ustad Azzam.
“Tapi lebih baiknya di pakainya dari rumah, bukan dari tempat parkir,” kata Azzam lagi.
Wajah Lita bersemu. Malu.
Hari-hari berlalu. Kini, dalam tas Lita sudah tidak ada lagi kerudung dan cardigan, karena ia sudah mengenakan baju lengan panjang dan berjilbab sejak keluar dari rumah. Penutup kepalanya juga berubah, bukan hanya selendang yang ditangkupkan di kepala dan diikat di leher, melaikan di semat dengan rapi dengan peniti di bawah dagu.
Ibu sangat lega mendapati perubahan penampilan anak gadisnya itu. Selama ini ibu sudah kehabisan akal menyuruh Lita berjilbab. Alasanya ada saja; mulai dari, “belum siap” atau “belum dapat hidayah” atau ”yang pentingkan hatinya berjilbab” dan sebagainya.
***
Tak terasa setahun berlalu. Hari ini hari pertama tahun ajaran baru. Namu di hari pertama Lita menjemput Rara, Ustadz Azzam tidak terlihat di sekolah. Juga hari kedua, ketiga, keempat. Kemana dia?
Ternyata jawabannya justru dia dapat dari Rara. Ustadz Azzam tidak bisa mengajar karena sedang menempuh pendididkan di Kairo.
Gelap sudah hari-hari Lita. Azzam pergi ke tempat jauh. Dia pergi tanpa pamit. Ah, tapi untuk apa Azzam berpamitan padanya. Selama ini Azzam toh tak pernah sekalipun bertanya siapa namanya. Selama ini, dia hanya bertukar sapa dengan Azzam tidak lebih dari 3 kali. Selebihnya hanya bertukar pandang saat berpapasan, tanpa berbincang. Lita tersadar Azzam tak pernah menaruh perhatian sedikitpun padanya. Padahal dia tak pernah seharipun tidak memikirkan Azzam.
Hati Lita perih bukan main. Tergerus perasaan yang tak terbalas dan kerinduan yang tak tertahankan. Lita menangis semalaman. Dalam sejarah hidupnya, ini kali kedua dia menangisi seorang laki-laki setelah kematian ayahnya.
***
“Bu, aku berangkat,” pamit Lita suatu sore.
Ibu nyaris tersedak melihat Lita. ”Lho…lho…! Mau ke mana?!”
“ke took buku.”
Ibu melongo, tapi segera tersadar. “E e e… kok ndak pake jilbab? Terus pakai kaos ketat lagi?”
“Lita ndak berjilbab lagi, Bu”, jawab Lita pendek.
“Sebentar nduk, duduk sini dulu, ada yang ibu mau tanyakan,” panggil ibunya dengan lembut.
Lita cemberut, tapi tak urung dia menuruti juga permintaan ibunya.
Sebenarnya ibu sudah merasa ada sesuatu yang mangganggu pikiran anak bungsunya ini. Belakangan ia melihat Lita jadi lebih pemurung dan matanya sering terlihat sembab.
“Kenapa jilbabnya di lepas? ”Tanya ibu hati-hati.
Lita terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Soalnya yang nyuruh pakai jilbab sudah ndak ada.”
“Siapa yang nyuruh?”
Lita terdiam lagi. Selama ini dia memang tidak pernah cerita pada siapapun. Sekarang juga sebenarnya dia tidak ingin cerita, tapi ia tidak sanggup membohongi wanita yang sudah melahirkanya itu.
“mmmm…..Ustadznya Rara. Sekarang sedang sekolah di Mesir,” jawabnya tanpa berani menatap mata ibunya.
Ibu tersenyum bijak. Wanita itu kini paham apa yang sedang dialami putrinya. “Untuk memulai suatu kebaikan, tidak masalah sebenarnya didorong oleh sesuatu atau seseorang. Tapi berikutnya, segera istighfar dan perbaiki niatmu untuk melakukan itu semata-mata karena Allah.”
“maksud Ibu?”
“Dulu waktu kecil, kamu mau berpuasa karena mengejar hadiah yang ibu beri di hari raya kan? Tapi setelah dewasa, mengapa kamu tetap berpuasa walaupun ibu tidak lagi member hadiah?”
“Ya, karena puasa itu kan perintah Allah Bu. Kalu tidak dilaksanakan kan berdosa .”
“Sama juga berjilbab nduk. Perintah untuk itu jelas ada dalam Al Qur’an. Jadi tidak ada alasan untuk tidak menurutinya. Ataupun melakukanya tapi bukan karena Allah.”
Lita terdiam. Kata – kata ibu barusan telak menohok ulu hatinya. Perih hatinya muncul lagi. Tapi kali ini bukan karena kehilangan Azzam, tapi karena sadar akan kesalahannya.
Selama hampir setahun ini, dia memang berhijab karena ingin menarik perhatian Azzam. Selama ini dia berjilbab karena maludilihat Azzam mengenakan kerudung ditempat parkir sekolah Rara.
“Jadi seorang muslim melakukan sesuatu karena mengharap ridho Allah, maka tidak akan ada rasa kecewa jika kehilangan sesuatu. Atau seseorang ..” lanjut Ibu.
“Tidak kecewa?”
“Misalnya, seorang ibu akan dengan senang hati kehilangan waktu istirahatnya yang ia pakai untuk merawat bayinya yang baru lahir. Sebab cukup baginya ridho Allah sebagai hadiah yang paling berharga,” lanjut Ibu.
Air mata Lita mengalir. Dia malu. Malu pada Ibunya. Malu pada dirinya sendiri. Malu pada Allah.
Ibu tersenyum lembut. Dibiarkan Lita menangis sampai puas. Ibu bisa merasakan, setelah ini Lita pasti tidak akan melepas Jilbabnya lagi, walaupun hatinya mungkin masih terluka karena cinta pertamanya yang tak terbalas.
“Termasuk dalam hal mencintai nduk. Jika kamu mencintai seseorang, cintai dia karena kamu mencintai Allah. Jadi jika kamu kehilangan dia, cukuplah Allah sebagai pelipur lara,”sambung Ibu.
Lita mengangguk. Matanya masih basah, tapi seulas senyum kini tersungging di wajah yang manis.
***
Epilog
Kairo, Mesir.
Azzam sedang memandang akun jejaring sosial milik seorang gadis; Annisa Jelita. Ia membatin,”Sepertinya ini ahwat yang tak sengaja menabrakku dulu. Hmm, Iya, tantenya Rara…”
Dari akun jejaring sosialnya itulah, Azzam tau siapa dia. Mahasiswi tahun pertama jurusan matematika. Hobinya membaca buku dan menulis puisi. Penulis blog yang blognya juga rutin dikunjungi Azzam.
Azzam mengarahkan kursor ke sebuah kotak bertuliskan “add friend”. Sesaat dia ragu, “mungkinkah gadis itu masih ingat padaku?”Bisik sambil mengklik “add friend” di kotak foto profil Annisa Jelita yang sudah berjilbab.



No comments:

Post a Comment