Shaykh Nawawī di bidang aqīdah adalah Ash‘ariyah, di bidang fiqh
bermadhhab Shāfi‘ī dan di bidang tarekat
mengikuti Qādiriyah.[1]
Karya-karyanya cukup banyak[2],
meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu ke-Islaman: tafsir, hadīth, kalām,
fiqh, tasawwuf, nahwu-saraf, madāīh nabawiyah, tārīkh, balaghah dan
tajwid, yang karenanya ilmunya bersifat multi disipliner, bagaikan ensiklopedi,
general, seperti Ghazalī Jawa.[3]
Karyanya yang prestisius ialah Tafsīr Marah Labīd Li Kashf Ma‘na al-Qur‘ān
al-Majid, dikenal dengan sebutan Tafsīr al-Munīr. Karena karya-karya
Shaykh Nawawī mendapat sebutan Sayyid Ulama al-hijāz.
Kebanyakan karya-karya Shaykh
Nawawī adalah berupa sharah,
hashiyah,
hāmish dan
mukhtasar. Sedangkan karya orisinilnya ialah tafsir Marah Labīd
atau tafsir al-Munīr dan ‘Uqūd al-Lujjayn (fiqh gender).
Disamping itu, Shaykh Nawawī juga
menaruh nasib bangsanya, yang waktu itu masih dijajah Belanda. Dia memberikan tawsiyahnya
doktrin nasionalisme dan patriotisme bahwa perang Sabīlillāh
hukumnya fard kifāyah pada setiap tahun terhadap orang-orang kafir yang
menjajah negerinya, sedikitnya sekali dalam setahun. Dan bila jihad itu
dilakukan lebih dari itu, dipandangnya lebih utama[4].
Hal ini merupakan sebagian dari motivasi Pemberontakan Petani Cilegon tahun
1988, yang dipelopori
[1] Nawawī,
Bahjat al-Wasāil (Surabaya: Nabhānī, tt), 2
محمد نووى
الشافعى مذهبا القادرى طريقة
Nawawī, Nihayat al-Zayn Fī Irshād al-Mubtadiīn, (Haramayn: Singapora, Jedah, Indonesia, tt).
محمد نووى ابن عمر التنارى بلدا الاشعرى اعتقادا والشافعى مذهبا
[2] Menurut: Muslim Ibrahīm
Abd. Rauf dalam Tesisnya berjumlah 43 kitab, Yousuf Alian Sarkis berjumlah 38
kitab dan KH. Sirajuddin Abbas berjumlah 34 kitab.
[3] Mas‘ūd, Intelektual
Pesantren: Perhelatan dan Tradisi, (Jogjakarta, L-Kis, 2004), 117.
[4] Nawawī, Nihāyat
al-Zayn. 369,
باب الجهاد اى
القتل فى سبيل الله. هو فرض كفاية كل عام
اذا كان الكفار ببلادهم واقله مرة فى كل سنة، فإذا زاد فهو افضل
oleh pengikut
tarekat Qādiriyah dan santri-santrinya yang dahulunya tergabung dalam Koloni
Jawa dan terutama pada jama‘ah haji.
Perlu disinggung, jika Shaykh Muhammad
Abduh, tokoh modernisme di Mesir, banyak menaruh perhatian terhadap
isu-isu modern dan menawarkan gagasan-gagasan baru, maka Shaykh Nawawī lebih
memberikan perhatian pada isu-isu kehidupan sehari-hari bernuansa fiqh.
Apabila penamaan “fiqh berorientasi kemasyarakatan” diterapkan kepada
santri-santri Jawa oleh para modernis, maka Shaykh Nawawī layak disebut
sebagai “perintis awalnya”.[1]
Problem kehidupan terus berkembang mengikuti irama kehidupan manusia. Maka
ajaran agama harus mampu merespon terhadapnya. Di sini diperlukan
kontektualisasi ajaran agama seiring problema sosial yang terus berkembang.
Dia menekankan totalitas pengamalan ajaran Islam dengan kronologi yang
benar, meliputi: shari‘at, tarīqat dan ma‘rifat. Tanpa pengamalan
seperti tersebut dipandangnya sebagai sesat dan menyesatkan,[2]
sekalipun berdalih telah mencapai tingkat kashshāf atau hakekat.
Dalam karya-karyanya, Shaykh Nawawī
menyebutkan latar belakang penulisannya, dengan kata-kata li al-muhtājīn, ‘awd
al-barakah, rājiyan al-intifā‘, awrathahu Allah ilmān nāfī‘ā, amaranī ba‘d
al-a‘izzah atau talaba minnī mirārā, untuk membantu santri-santri
Jawa agar mudah memahami kitab-kitab matan yang masih mujmal.
Sikapnya sangat tawādū dan
qanā‘ah, menyebut dirinya sebagai: al-faqīr, al-mu‘tarif bi al-dhanb,
al-taqīr, al-mudhnib, al-faqīr, al-rājī min rabbih al-khabīr dan sebagainya.
Tampilan cara berpakaian sehari-harinya, dia terbilang sederhana dan demikian
pula dia menulis karya-karyanya pada malam hari hanya dengan lampu kecil minyak
tanah. Kesemuanya itu menunjukkan sikap kerendahan budinya sekaligus cerminan
sufismenya.
[1] Mas‘ūd, Intelektual
Pesantren: Perhelatan Tradisi, (Jogjakarta: LKIS, 2004), 124.
[2] Nawawī, Marāqi
al-‘Ubudiyah Fi Sharh Bidayah al-Hidayah, (Surabaya: Al-Hidāyah, tt.), 13.
ولا تستقيم الطريقة بغير الشريعة
ولا تسقط الشريعة عن المكلف وان علت درجته وصار من جملة الاولياء، فلا تسقط عنه
المفروضات من الصلاة وغيرها. ومن زعم ان من صار وليا ووصل الى الحقيقة سقطت عنه
الشريعة فهو ضال ومضل لأن العبادة لم تسقط عن الا نبياء عليهم السلام، فكيف تسقط
عن الاولياء.
Diagram 1. Shaykh Nawawī dan Konteks Sosial
Dari diagram I, terlihat peranan Shaykh Nawawī membangun
Koloni Jawa, bagi mukimin di Makkah yang di kemudian hari mereka banyak yang
menjadi intelektual pesantren. Demikian pula corak pemikirannya dalam bidang kalam,
fiqh dan tasawwuf memiliki konstribusi dalam faham Ahl al-Sunnah
wa al-Jama‘ah.
Diagram 2. Genealogi intelektual kyai-kyai
besar di Jawa,
terlihat
pada diagram berikut
Pada diagram 2, genealogi intelektual kyai-kyai Jawa ternyata
bersumber dari Shaykh Nawawī. Shaykh Mahfud al-Tirmisi (w.1918 M) ulama ahli
hadith yang memperoleh gelar al-musnid, pengajar di Masjid al-harām
adalah muridnya. Dan muridnya yang lain ialah Kyai Khalil Bangkalan yang lebih
menonjol dunia esoteriknya dan Kyai Hāshim Ash‘arī Tebuireng yang mengenalkan
sistim klasikal pada pengajaran pesantren, yang melahirkan kyai-kyai
besar di Jawa dan Madura.
Diagram 3. Mata Rantai Intelektual
Ulama-Ulama Jawa Dengan Timur Tengah sebagaimana diagram
berikut:
Tampak pada diagram 3 bahwa Shaykh Nawawī menjadi sentral
jaringan ulama-ulama Jawa dengan Timur Tengah, pada abad XIX M. Jaringan
tersebut telah mulai terjalin sejak abad XVII dan XVIII M.[1]
Dan puncak karier akademik ulama Nusantara di Makkah adalah pada abad XIX M,
yaitu: Shaykh Abd. Ghanī Bima (tidak ada keterangan dengan keahliannya), Shaykh
Khatib Sambas (murshid tarekat Qādiriyah), Shaykh Nawawī (multidispliner
keilmuannya), Shaykh Mahfud al-Tirmisi (ahli hadīth) dan Shaykh Khatib
al-Minangkabawi (ahli usul). Muara jaringan itu bisa sampai ke Nusantara melalui
Kyai Khalil Bangkalan, Kyai Hashim Ash‘arī dan Kyai Raden Asnawi. Dan Shaykh
Nawawī adalah ulama Jāwī yang paling populer di Haramayn.[2]
Adapun pemikiran kalam Shaykh Nawawī
tertuang pada karya-karya kalamnya: Fath al-Majīd, Tījān al-Durārī, Qatr
al-Ghayth, Qāmi‘ al-Tughyān dan Nūr al-Zalām, dan tema-tema kalam
yang terdapat pada karya-karyanya yang lain. Dia termasuk mutakallimīn sifātiyyah, artinya tergolong yang ithbāt
al-sifat.
Bahasan
masalah kalam dibatasi pada: Dhāt dan sifat, Kalām Allah,
Ru‘yat Allah dan al-Af‘āl al-‘Ibād. Telah terjadi perdebatan
bagaimana cara mengenal Allah, apakah melalui shara‘ lebih dahulu,
kemudian baru menggunakan akal fikiran, atau justru sebaliknya. Menurut Sunni
bahwa ma‘rifat kepada Allah adalah melalui shara‘ lebih dahulu, kemudian
baru menggunakan akal fikiran. Sedangkan menurut Mu‘tazilah berpendapat
sebaliknya.[3] Mengenai sifat
Allah, Sunni berpendapat ithbāt al-sifat, Mu‘tazilah sebaliknya, nafy
al-sifat.
Beriman kepada Allah, berarti harus percaya dengan
sepenuh keyakinan akan sifat-sifatNya, yang merupakan sifat-sifat kesempurnaan UlūhiyyahNya.
Shaykh Nawawī mengikuti pendahulunya, Imam al-Sanusi dalam sharah Umm
al-Barāhīn mengatakan bahwa yang wajib bagiNya ada 20 sifat, dengan
klasifikasi sifat-sifatNya, yaitu Nafsiyah Salbiyah, Ma‘ānī dan Ma‘nawiyah.
Semua nama-nama Allah yang tercantum dalam al-Qur‘ān adalah sifat-sifatNya,
kecuali satu sifat saja yang tidak, yaitu asma “Allah” yang merupakan DhātNya,
bukan
[1] Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar
Pembaharuan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), 385.
[2] Ibid, 379.
[3] Abd. Jabbar b. Ahmad, Sharh
al-Usūl al-Khamsah, (Beyrut:
Maktabar Wahbiyah, tt), 41.
sifatNya, disebut Ism al-Jalālah. Nama-namaNya
disebut al-Asmā‘ al-Husnā.
Relasi
antara dhāt dan sifat menjadi perdebatan, apakah sifat itu ‘ayn
al-dhāt atau zāidah ‘alā al-dhāt, apakah ia itu qadīm, sementara
dhāt juga qadīm? Menurut Mu‘tazilah, bila dhāt itu qadīm
dan sifat itu juga qadīm, maka akan terjadi ta‘addud
al-qudamā‘. Golongan Māturīdī Samarkand tidak sependapat dengan Mu‘tazilah,
karena sebagai Sunnī mereka berpendirian bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi
tidak pula lain dari Tuhan.[1]
Sedangkan golongan Māturīdī Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Persoalan ta‘addud al-qudamā‘, agar tidak menimbulkan kemusyrikan,
mereka menyatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu abadi melalui keabadian yang
terdapat dalam essensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu
sendiri.
Shaykh
Nawawī mula-mula berpendapat bahwa al-sifat
zāidah ‘alā al-dhāt.[2]
Namun demikian, tiga tahun kemudian, dia merubah pendapatnya bahwa al-sifat
qāimah al-dhāt.[3]
Pendapat ini terkesan ambigu baginya.
Tentang Kalām Allah,
Sunnī berpendapat ia adalah qadīm, bukan hādith. Al-Qur‘ān adalah Kalam
Nafsi dari Dhāt yang qadīm, tidak berupa huruf-huruf dan suara.
Adapun mushaf adalah hādith dari madlulnya yang qadīm.[4]
Shaykh Nawawī berpendapat
bahwa harus dibedakan antara kalām Nafsī dengan kalām Lafdī. Kalām
Nafsī yang tidak berwujud huruf ataupun suara, yang qāimah ‘alā al-dhāt
adalah qadīm, sedangkan al-Qur‘an yang diturunkan kepada Nabi SAW adalah
hādith.[5] Al-Qur‘ān
adalah Kalam Allah, ia merupakan sifat yang ada pada DhātNya.
Karena DhātNya itu qadīm, demikian pula KalamNya adalah qadīm juga.
Sedangkan al-Qur‘ān yang diturunkan oleh malaikat Jibril AS
secara berangsur-angsur selama hampir 23 tahun, ia adalah hādith dari
madlulnya yang qadīm.
Tentang ru‘yat, Shaykh
Nawawī pendapatnya sejalan dengan Imam al-Ash‘arī, sebagaimana terlihat pada
kitab-kitabnya: Maraḥ
[1] Harun Nasution, Teologi
Islam, 137.
[2] Nawawī, Fath al-Majid,
(Haramayn: Singapora, Jedah, Indonesia, tt), 5.
[3] _______, Tījān, (Bandung:
Al-Ma‘arif, tt), 8.
[4] _______, Fath al-Majīd, 33.
[5] _______, Fath al-Majīd, 33.
Labid,[1]
Fath al-Majīd,[2]
dan Nūr al-Zalam.[3]
Ru‘yat adalah suatu yang jāiz di akherat dan di dunia ini adalah mustahil.
Telah terjadi perdebatan
pendapat ketika Nabi SAW mi‘rāj. Sahabat Ibn ‘Abbas, Anas, al-Hasan dan Ikrimah
berpendapat bahwa Nabi SAW melihat TuhanNya yang tidak dibisa dibayangkan kayfiyahnya.
Siti ‘Āishah dan Ibn Mas‘ūd menolak pendapat tersebut, karena yang dilihat
olehnya adalah bentuk asli malaikat Jibri
AS.[4]
Imam al-Ash‘arī tidak
membahas ru‘yat Nabi SAW sewaktu mi‘rāj, sedangkan Shaykh Nawawī membahasnya
panjang-lebar dan berpendapat ra‘āhu bi al-jinān.
Mengenai af‘āl
al-‘ibād, telah terjadi perdebatan, apakah ia bersifat ikhtiyārī atau
ijbārī. Firqah Qadariyah-Mu‘tazilah berseberangan dengan Jabariyah.
Al-Ash‘arī bersikap tawassut, dengan teori kasbnya. Kasb menurut
al-Ash‘arī adalah suatu perbuatan yang terjadi dengan perantaraan potensi (qudrat)
yang diciptakan Tuhan, sehingga kasb menjadi perolehan bagi orang yang
dengan potensi tersebut perbuatan itu timbul.[5]
Sekalipun Shaykh Nawawī itu
Ash‘ariyah,[6] dalam beberapa
masalah lebih maju pemikirannya. Hal itu mungkin pengaruh guru-gurunya yang
berasal dari Mesir, yang kemungkinan telah tersentuh oleh pembaharuan. Dalam
bidang fiqh dia bermadhhab Shāfi‘ī,[7]
tetapi tidak selalu Shāfi‘ī minded. Pada karya-karya fiqhnya, dia
sebutkan beberapa pendapat di berbagai madhhab, kadang-kadang dia sebutkan
pendapat pribadinya atau kadang-kadang tidak menunjukkan pendiriannya. Di
bidang tarekat dia pengikut Qādiriyah,[8]
sekalipun kenyataannya lebih dekat sufisme Ghazāli. Namun demikian dia tetap
menjalin hubungan spiritual dengan guru tarekatnya, Shaykh Khatib Sambas. Dia
mengecam
[1] Nawawī, Marah Labīd,
(Surabaya: Dār al-Ilm, tt), 415.
[2] _______, Fath al-Majīd,
39.
[3] _______, Nūr al-Zalam,
(Al-Haramayn: Singapora, Jedah, Indonesia, tt), 37.
[4] Sunan al-Turmudhī, no.
hadīth 3200, CD Mausū‘al-Ash‘arī al-Hadīth al-Sharīf, dan al-Qur‘an, al-Najm
(53): 13.
[5] Musa, Nash‘at
al-Ash‘ariyah, 46.
قالت المعتزلة بقدرة العبد على
احداث الفعل، وقالت الجبرية بأن العبد لا يقدرعلى احداث أو كسب فقال الاشعرى بقدرة
العبد على كسب الفعل.
[6]
Nawawī, Nihāyat, 3.
[7] _______, Bahjat,
2.
[8]
Ibid.
sufisme yang heterodog
sinkritis, dan excessive, sufisme yang dipandangnya sesat.[25]
Dari uraian tersebut, layak bagi Shaykh Nawawī disebut sebagai “Neo
Tradisionalisme”, dan ikut membangun akar pembaharuan Islam di Indonesia. Dia
telah membawa isnād-isnād dan silsilah-silsilah ilmu dan tradisi
agama pada masa peralihan dari tradisionalisme ke modernisme.[26]
No comments:
Post a Comment