Dalam
dunia pendidikan, Komunikasi merupakan
salah satu pondasi yang ikut membantu terlaksananya proses pendidikan. Kegiatan
komunikasi merupakan sesuatu yang sangat inheren dengan kegiatan pendidikan itu
sendiri. Sebab proses pendidikan berjalan melalui komunikasi. Setiap pendidik
bertugas untuk menjadikan bahan ajar yang disampaikan bukan saja sekedar
dikuasai murid, namun lebih dari itu bahan ajar tedrsebut menjadi bagian dari
sikap atau kepribadian murid. Sehingga, demi keberhasilan suatu pendidikan,
maka seorang pendidik seyogyanya dapat
me nguasai konsep-konsep utama
komunikasi.
Berkenaan
dengan kontek di atas, Rasulullah sebagai pembawa risalah Ilahy telah banyak
memperlihatkan keberhasilannya dalam menyampaikan ajaran Islam. Dan itu tiada
lain karena profesionalitasnya dalam
berkomunikasi.
Tabligh
adalah salah satu karakteristik atau konsep utama komunikasi yang dilakukan
Rasulullah dalam upaya menyampaikan ajaran Islam kepada ummatnya. Dan sekaligus
menjadi uswah dan qudwah bagi pengikutnya, sehingga pendidikan dapat terlaksana
dengan baik sesuai dengan tuntutan Qur’an dan Sunnah.
Dalam
Islam, konsep tabligh erat sekali kaitannya dengan dakwah. Tabligh merupakan
bagian dari dakwah itu sendiri. Karena tabligh pada intinya berisi penyampaian
pesan-pesan Tuhan baik bedasarkan al-Qur’an ataupun al-Sunnah.
Tabligh
juga merupakan salah satu metode dalam pendidikan dan pengajaran Islam yang
tentunya patut dikaji lebih lanjut sehingga diharapkan bisa membantu
pelaksanaan pendidikan.
Dalam
makalah ini penulis akan mencoba membahas secara ringkat tentang tabligh,
dilihat dari pengertian, landasan hukum,
dan prinsip-prinsip dalam tabligh dengan menggunakan pendekatan hadis.
Pengertian Tabligh
Tabligh
berasal dari kata : ballagha - yuballighu – tablighan, yang artinya
menyampaikan. Secara Istilah berarti menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang
diterima dari Allah SWT. Kepada umat manusia untuk dijadikan pedoman dan
dilaksanakan agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Isi pokok tabligh
adalah amar ma’ruf nahi munkar ( menyuruh kapada kebaikan dan mencegah dari
kemunkaran).
Mula-mula
kegiatan tabligh dilakukan oleh Rasulullah sendiri kemudian dilanjutkan oleh
para shahabat yang termasuk assabiqun al-awwalun (pemeluk Islam pertama), dan
seterusnya menjadi kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuan dan
pengetahuan yang dimilikinya. Pengikut Asy’ariyah sering menggunakan kata
tabligh sebagai salah satu sifat wajib bagi Rasul Allah. Hal ini karena Rasul
menerima wahyu dari Allah untuk disampaikan kepada ummatnya.
Di
kalangan masyarakat kita, tabligh dikenal sebagai salah satu metode dakwah yang
ditujukan kepada maysarakat umum yang cenderung lebih bersifat abstrak, yaitu
mereka yang lebih banyak menggunakan emosi dibanding rasio, sehingga dalam
tabligh biasanya tidak diperlukan tanya jawab. Mereka cenderung ingin
memperoleh kepuasan emosi daripada kepuasan rasio. Uraian yang dikehendaki
massa seperti ini adalah uraian yang populer, mudah, jelas dan tegas. Untuk
massa yang demikian diperlukan ahli atau orator, yang mampu mengendalikan diri,
karena masyarakat yang abstrak lebih mudah tersinggung dan mudah terbakan
jiwanya, sanggup berbuat apa saja.
Landasan Tabligh
Dalam
uraian di atas telah disebutkan bahwa inti dari tabligh adalah menyampaikan
kebenaran atau amar ma’ruf nahi muhkar. Rasulullah telah memberikan contoh
dalam bertabligh dan sekaligus menyuruh umatnya untuk neneruskan misi tersebut.
Banyak hadis beliau yang berisi tentang tugas manusia terkhusus kaum muslimin
untuk bertabligh, diantaranya hadis yang berbunyi:
“Sampaikanlah
olehmu apa yang kalian peroleh dariku meski hanya satu ayat. Ceritakanlah dari
bani Israil tak mengapa dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja
maka siapkanlah tempat duduknya dari ap neraka.”. (Fathul Bari :175)
Hadis ini menunjukkan atas wajibnya
bertabligh, menyampaikan apa yang datang dari Nabi walaupun sedikit. Adapun
mengenai penyampaian khabar-khabar yang datang dari Bani Israil baru diperbolehkan setelah adanya penetapan
hukum Islam, sehingga tidak ditakutkan
lagi terjadinya fitnah. Dan hal ini diperbolehkan karena memungkinkan bisa
dijadikan i’tibar. Imam Malik mengatakan bahwa bolehnya menyampaikan berita
dari Bani Israil itu apabila beritanya berisi perkara yang baik dan bukan
berisi kebohongan. Atau (menurut pendapat yang lain) adalah yang sesuai dengan
al-Qur’an dan sunnah, selain itu tidak.
Dalam
potongan hadis terakhir Nabi mengisyaratkan supaya dalam tabligh para muballigh
benar-benar menyampaikan apa yang datang dari Nabi, dan bukan mengada-ada atau
mebuat bid’ah, karena hal itu semata-mata akan menjerumuskan pelakunya ke dalam
api Neraka.Para ulama sepakat perbuatan seperti ini merupakan dosa besar.
Selain hadis di atas
adalah yang diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudry :
“Barangsiapa diantara
kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika belum
sanggup, maka dengan lisannya; dan jika masih juga belum sanggup, maka dengan
hatinya. Namun yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”(Jami’ al-Ulum wa
al-Hikam:301)
Hadis ini menunjukkan, bahwa
diantara kewajiban fundamental dalam Islam adalah amar ma’ruf nahi munkar. Ini
merupakan kewajiban yang dijadikan Allah sebagai salah satu dari dua unsur
pundamental tentang keutamaan dan kebaikan umat ini. Orang muslim bukan hanya
sekedar orang shalih untuk dirinya, berbuat baik, meninggalkan keburukan, hidup
pada lungkungan dirinya sendiri, tidak memperdulikan kebaikan disingkirkan di
sekitarnya, tidak memperdulikan keburukan yang dilakukan disekitarnya. Tetapi
muslim adalah orang yang shahih untuk dirinya dan shahih untuk orang lain.
Dan hadis di atas sangat
jelas maknanya, bahwa merubah kemungkaran merupakan hak seorang muslim yang
melihatnya, dan bahkan merupakan kewajibannya.
Lafazh “man” dalam
hadis ini merupakan lafazh umum. Sebagaimana yang dikatakan para pakar ilmu
ushul, lafazh ini bersifat umum, meliputi setiap orang yang melihat
kemungkaran, pemimpin ataupun rakyat. (Yusuf
Al-Qardhawy, 1996 : 168)
Rasulullah saw mengarahkan seruannya (barangsiapa
diantara kalian melihat) kepada semua orang muslim, tanpa ada yang
dikecualikan, dimulai dari kalangan shahabat, lalu disusul generasi demi
generasi sesudah mereka hingga hari kiamat. Beliau adalah imam, pemimpin dan
hakim bagi umat Islam. Sekalipun begitu, beliau tetap memerintahkan siapapun
dari mereka (rakyat) yang melihat suatu kemungkaran agar merubahnya.
Dalam hadis di atas
terdapat Lafaz “ra’a” (melihat) yang menurut pengarang kitab Dalil
al-Falihin maknanya adalah “alima” (mengetahui), sehingga maksud dari “man
ra’a”, adalah orang yang mengetahui, baik melihatnya ataupun tidak (M. Alan
Ash-Shiddiqy: 464). Sedangkan menurut Al-Qardhawy lafadz di atas mengisyaratkan
bahwa kemungkaran harus dirubah jika kelihatan dan disaksikan, bukan
kemungkaran yang di dengar dari orang lain. Oleh karena itu Islam tidak
menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan kemungkaran secara
sembunyi-sembunyi dan tidak menampakkannya. Perbuatan ini diserahkan kepada
Allah untuk dihisab pada hari kiamat. Hisab ini bukan menjadi wewenang orang di
dunia, sampai ia melakukannya secara terang-terangan. Bahkan hukum Allah lebih
ringan bagi orang yang menutupi kemungkarannya dengan menggunakan tabir Allah
dan tidak menampakkan kedurhakaannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis,
“Setiap umatku diampuni
kecuali orang-orang yang menampakkan (dosanya).”
Tak seorangpun mempunyai wewenang untuk menjatuhkan
sanksi terhadap kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi. Yang paling pokok adalah kedurhakaan hati, sepewrti riya’,
kemunafikan, kesombongan, dengki, kikir dan lainnya sekalipun agama
mengangapnya sebagai dosa besar, selagi tidak mengimbas pada perbuatan yang
nyata yang merugikan orang lain. Sebab yang diperintahkan adalah menghakimi
yang nampak. Namun bukan berarti kita membiarkan orang untuk terbiasa melakukan
kedurhakaan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Hanya caranya yang
berbeda. Kalau yang nampak memungkinkan untuk mandapat hukuman penguasa, sementara yang tersembunyi atau
yang bersifat kedurhakaan hati cukup
dengan diberi pemahaman tentang kebenaran yang akan memberikan kemaslahatan.
Yang jelas seorang muslim dilarang untuk mencari-cari kesalahan orang.
Kata “munkaran”
-dengan lafazh umum- menunjukkan terhadap segala sesuatu yang diharamkan, baik
perbuatan yang diperingatkan atau sesuatu yang diperintahkan untuk
ditinggalkan, baik yang termasuk dosa kecil ataupun dosa besar, apa pun
bentuknya, baik politis, ekonomis, sosial ataupun peradaban. Hanya saja
kemungkaran yang dimaksud di sini adalah
kemungkaran yang benar-benar diharamkan menurut syariat, atau
benar-benar diingkari nash syariat yang jelas maknanya, atau berdasarkan
kaidah-kaidah yang pasti atau ditunjukkan bagian-bagian dari syariat.
Kemungkarannya tidak bisa diukur berdasarkan pendapat dan ijtihad. Karena
pendapat atau ijtihad bisa benar dan bisa salah, yang bisa berubah menurut
tempat, kondisi, dan tradisi yang berlaku.(Yusuf Al-Qardhawy, 1997 : 170)
Atau kalau tidak,
kemungkaran itu harus disepakati semua
orang sebagai kemungkaran. Jika ulama mujtahidin yang dulu maupun sekarang
masih bersilang pendapat, antara melarang dan membolehkan, maka hal itu tidak
termasuk dalam lingkup kemungkaran yang harus dirubah dengan menggunakan
tangan, terutama yang dilakukan individu. Hal ini sejalan dengan ungkapan
Zainuddin Abi al-Farj dalam kitabnya Jami’ al-Ulum wa al-Hikam:
“Kemungkaran yang wajib diingkari adalah kemungkaran
yang sudah disepakati.”(Zainudin
Abi Al-Farj:306)
Mengenai kata “biyadihi”
(dengan tangannya), Yusuf Al-Qordhawi memaksudkannya dengan kekuatan material
atau spiritual yang ada pada orang yang memiliki kekuasaan. Dengan kata lain
orang yang merubah kemungkaran dengan tangannya berarti ia mempunyai kekuatan
material atau spiritual yang memungkinkan baginya utnuk menyingkirkan
kemungkaran itu secara mudah dan tidak berlarut-larut. Hal ini biasanya dialami
seseorang yang memiliki kekuasaan menurut lingkup kekuasaannya, seperti suami
terhadap istri, bapak terhadap anak, ketua yayasan dilingkup yayasannya, amir
yang ditaati sebatas wilayah kekuasannya. Masing-masing bisa berbuat menurut
kesanggupannya.
Adapun kekuatan yang bisa
digunakan untuk merubah kemungkaran diantaranya:
- Kekuatan senjata
- Dewan Perwakilan Rakyat dengan uundang-undangnya
- Kekuatan rakyat secara menyeluruh yang bisa menyerupai ijma.
Selanjutnya orang yang
tidak mampu merubah kemungkaran dengan tangannya, maka ia bisa melakukannya
dengan lisan (bilisanihi). Ini menunjukkan bahwa seoarang muslim wajib
beramar ma’ruf nahi munkar lewat kemampuannya dalam melontarkan kata-kata
yuang bisa mempengaruhi orang lain.
Tabligh adalah salah satu bentuk amar makruf nahi munkar billisan. Dari hdis di
atas dapat pula dipahami bahwa kalau
seorang muslim wajib merubah kemungkaran yang telah terjadi, maka tindakan prepentif terhadap terjadinya
kemungkaranpun wajib dilakukan. Para
muballigh dituntut selain merubah kemungkaran juga mampu untuk senantiasa
memberikan penerangan, sehingga dapat menutup jalan-jalan menuju pada kemungkaran. Hal ini sejalan dengan kaidah ushul fiqih
tentang saddu al-dzara’i.
Adapun mengingkari
kemungkaran dengan hati atau (biqolbihi) mengandung maksud bahawa hati
tidak rela terhadapnya dan memilih untuk sibuk berdzikir kepada
Allah(An-Nawawy,1997 :223). Disamping itu merubah dengan hati menunjukkan
adanya beban perasaan dan kejiwaan dalam melawan kemungkaran dan para
pelakunya. Beban ini bukan hanya sekedar sesuatu yang berkonotasi negatif
seperti anggapan orang. Sebab jika begitu tidak disebut dengan kata-kata
merubah di dalam hadis.
Beban perasaan dan
kejiwaan ini akan terus membuntuti dan sustu saat akan menyemburkan nafas
da;lam satu tindakjan yanbg positif, bisa berupa revolusi yang melibatkan orang
banyak atau ledakan yaang sulit dibayangkan. Jika ada tekanan, tentu akan
diikuti dengan ledakan. Ini merupakan sutu sunnatullah yang berlaku di alam
ini.
Jika hadis di atas
menyebut sikap ini dengan istilah “merubah dengan hati”, maka dalam hadis lain
disebutkan dengan istilah “jihad hati”, yang mrupakan tingkatan jihad terakhir,
sebagaimana ia merupakan tingkatan iman terakhir dan paling lemah (adh’aful
iman). Hal ini disebabkan karena yang namanya amal perbuatan nyata itu
merupakan buahnya iman. Buah iman yang paling tinggi dam persoalan nahi munkar
adalah mencegah dengan menggunakan tangannya.
Dalam hadis lain yang
diriwayatkan dari Abi ruqoyyah Tamim bin Aus Ad-Dari Nabi Bersabda:
“Agama
adalah nasehat. Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah,
kitab-Nya, rasul-Nya dan imam-imam serta umumnya kaum muslimin”(Ibid : 88)
Al-Khattabi berkata : “Nasehat adalah kata yang
maknanya mencakup upaya untuk mewujudkan kebaikan bagi orang yang dinasehati.”
Dikatakan pula: nasehat
diambil dari kata
artinya “Seseorang menjahit pakaiannya”. Tindakan penasehat didalam
upayanya untuk mewujudkan kebaikan bagi orang yang dinasehati mereka
diibaratkan dengan upaya menjahit untuk menutupi celah pakaian.”
Dikatakan:”Ia diambil dari
kata artinya,
‘saya membersihkan madu’. Orang-orang menyerupakan bersihnya ucapan dari tipu
daya sebagaimana bersihnya madu dari kotorannya.”
Para ulama berkata:” Makna
nasehat untuk Allah Taala adalah beriman kepada Allah, meniadakan sekutu
baginya, meniadakan keingkaran sifat-sifat bagi-Nya, menyifati bagi-Nya dengan
semua sifat kesempurnaan dan keagungan, memaha sucikannya dari seluruh
kekurangan, mentaati-Nya, menghindari kemaksiatan bagi-Nya mencintai
kepada-Nya, membenci karena-Nya, mencintai siapa yang mentaati-Nya, memusuhi
bagi orang yang bermaksiat kepada-Nya,mengakui dan mensyukuri nikmat dari-Nya,
ikhlas dalam segala urusan, berdoa dan memberikan anjuran untuk merealisasikan
semua sifat tersebut, bersifat simpatik kepada seluruh umat manusia atau siapa
yang memungkinkan diantara mereka berdasarkan semuanya itu. Hakekat kesemua
sifat ini kembali kepada nasehat seorang hamba kepada dirinya sendiri,
sedangkan Allah tidak membutuhkan nasehat dari siapapun.
Nasehat untuk kitab Allah Ta’ala adalah
beriman bahwa ia merupakan firman Allah dan kitab yang diturunkannya, tidak ada
ucapan manusia yang serupa dengannya dan tidak ada seorangpun diantara
mahluknya yang mampu membuat yang serupa dengannya, kemudian mengagungkan dan
membacanya dengan sebenar-benarnya bacaan, dengan bacaan baik, dengan
melafalkan huruf-hurufnya secara benar, serta dengan khusyu, membelanya dari
penyimpangan orang yang mentakwilkan dan penentangan orang-orang yang
mencelanya, membenarkan kandungannya, mematuhi hukum-hukumnya, memahami
ilmu-ilmu dan permisalan-permisalannya, mengambil pelajaran-pelajarannya,
memikirkan keajaiban-keajaibannya, melaksanakan ayat-ayat muhkamnya, percaya
penuh dengan ayat-ayat mutasyabihatnya, mempelajari mana yata-ayat yang umum,
mana ayat yang khusus, mana yang nasikh, dan mana yang manshuk, menyebarkan ilmu-ilmunya,
mendakwahkannya dan mendakwahkan semua yang telah disebutkan mengenai nasehat
kepada kitab-Nya .
Nasehat kepada Rasul-Nya
adalah membenarkan risalah beliau, mengimani seluruh ajaran yang dibawa beliau,
mentaati beliau dengan segala perintah dan larangannya, membela beliau semasa
hidup maupun sesudah beliau wafat, memusuhi siapa yang memusuhinya, berwala
kepada siapa yang berwala kepadanya, menghormati haknya, menghidupkan sunahnya,
menyebarkan dakwahnya, menghilangkan tuduhan jahat mengenai sunnah tersebut,
menyebarkan ilmu mengenainya, mempelajari, berdoa untuknya, bersikap lembut
dalam mempelajarinya, mengajarkannya, mengagungkannyta, dan menghormatinya, bersikap santun ketika
membacanya, menahan diri dari berbicara mengenainya tanpa ilmu, menghormati
para ahlinya karena keterkaitan mereka dengannya, meniru akhlak dan adab
beliau, mencintai ahli bait dan para sahabat beliau, menjauhi siapa saja yang
mengada-ngadakan bid’ah dalam sunnah beliau atau mencela salah seorang sahabat
beliau, dsb.
Nasehat bagi imam-imam
kaum muslimin adalah membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka juga
dalam kebenaran, memerintah mereka untuk mentaatinya, melarang dan mengingatkan
mereka dengan santun, memberitahu mereka tentang apa yang meraka lalaikan dan
tentang hak-hak kaum muslimin yang belum mereka ketahui, tidak memberontak
kepada mereka menyatukan hati kepada kaum muslimin supaya mentaati meraka.
Al-khatabi berkata:
Diantara bentuk nasehat kepada mereka adalah melaksanakan shalat dibelakang
mereka, berjihad bersama meraka, menyerahkan sedekah kepada mereaka, tidak
memberontak kepada mreka dengan kekuatan bersenjata bila terlihat mereka
melakukan ketidak adilan atau keburukan sikap. Tidak pula menjilat mereka
dengan pujian dusta mengenai diri mereka. Hendaklah berdoa untuk kebaikan dan
keshalihan mereka.”
Adapun nasehat untuk
umumnya kaun muslimin adalah membimbing mereka kepada apa yangh bisa
memperbaiki urusan agama dan dunia mereka.
Ibnu Bathal berkata:”
Dalam dahits ini terdapat dalil bahwa nasihat dinamakan juga agama dan Islam
serta bahwa agama itu selain mencakup perbuatan juga mencakup ucapan. Nasihat
adalah kewajiban yang barang siapa telah melaksanakannya maka ia mendapatkan
pahala, sedangkan kewajibannya gugur bagi yang lain. Nasihat adalah kewajiban
yang diukur dengan kadar kemampuan apabila memberi nasihat mengetahui bahwa
nasihatnya akan diterima, perintahnya ditaati, dan ia tiddak khawatir dirinya
ditmpa hal-hal yang dibencinya. Apabila ia khawatir disakiti, maka ia keluar
dari beban kewajiban.
Misalnya ditanyakan
berkenaan riwayat dalam shahih al bukhari dimana nabi. Bersabda :
“Apabila salah seorang dari kamu meminta nasihat
kepada saudaranya, hendaklah ia menasehatinya.”
Bukankah hadits itu
menunjukan bahwa kewajiban menasihati itu tidak bersifat mutlak melainkan
terkait dengan permintaan nasihat ? pengertian adamnya syarat dalam hadits ini
merupakan alasan mengenai pengkhususan makna dan pengertian umum.
Jawabannya adalah:
persyaratan dalam hadits tersebut bisa ditafsirkan bahwa berlakunya bila
berkaitan dengan urusan dunia misalnya, mengenai masalah menikahi seorang
wanita, bersahabat dengan seseorang, dsb. Sedangkan yang pertama ditafsirkan
bahwa keumumannya berlaku apabila berkaitan denga urusan agama yang merupakan
kewajiban bagi setiap muslim.
Prinsip-prinsip dalam Tabligh
1. Mudah
Nabi saw .bersabda dalam
hadisnya :
“Mudahkanlah dan jangan mempersulit,
gembirakanlah dan jangan membuat orang lari (menjauh).” H.Muttafaq alaih
dari Imam Anas.(Fathul Bari :221)
Hadis
di atas merupakan salah satu pesan Nabi kepada dua utusannya: Abu Musa
Al-asy’ary dan Mu’adz bin Jabal ketika hendak berangkat ke Yaman menunaikan
misi dakwah yang ditugaskan Rasulullah kepadanya. Dalam hadis itu terdapat
pesan yang mengisyaratkan bahwa tabligh seyogyanya diupayakan supaya mudah
diterima dan cepat dimengerti, serta tidak membosankan. tabligh yang membuat
fikiran orang jadi sulit adalah bertentangan dengan prinsif kemudahan. Kata “yassiru”
dalam hadis di atas dapat diartikan
memberikan kemudahan baik dalam penyapaian
materi ataupun dalam isinya, sehingga orang tidak cepat jenuh. Sedangkan kata “la
tu’assiru”adalah kebalikannya, yaitu menunjukkan tidak bolehnya mempersulit
dalam segala hal. Diantaranya dalam materi seyogyanya Mempergunakan bahasa yang
mudah dimengerti. Sebab tabligh bertujuan untuk dimengerti dan dihayati lalu
diamalkan orang-perorangan dan masyarakat luas.
Disamping itu, seorang
muballig diharapkan bisa menciptakan suasana gembira dengan memberikan
berita-berita yang menyenangakan, terkhusus bagi para pemula atau mereka yang
baru mengenal Islam. Begitupun dalam pemberian materi hendaklah dilakukan
dengan cara bertahap sehingga mudah di cerna dan membuat mereka terdorong untuk
terus mendalami Islam dan mengamalkannya. Karena segala sesuatu yang diawali
dengan kemudahan akan membuat orang senang dan bekeinginan untuk menelusuriya
lebih lanjut. Dari sini jelaslah bahwa dalam pesan tersebut di atas sebenarnya
mengandung nilai motivatif (kekuatan pendorong) dan persuasif (dorongan
meyakinkan) terhadap orang lain tentang kebenaran yang disampaikan kepadanya.
Atas dasar pesan demikian maka pihak-pihak yang menerima pesan akan
terbangkitlah dalam dirinya suatu daya rangsang terhadap kebenaran pesan itu
dengan sukarela. Situasi dan kondisi demikian baru dapat berkembanga bilamana
motivasi terhadap tingkah laku dalam proses tabligh tersebut benar-benar
mengenai sasaran. Disini faktor motivasi menjadi penentu bagi berhasilnya
proses tabligh.(HM. Arifin,1994 :47)
3. Jelas
Mengucapkan
kata demi kata dengan jelas sangat diperlukan, sebab kemudahan dan kebulatan
kalimat tidak akan terserap dengan baik oleh mustami’in (audient) tanpa
kejelasan dalam pengucapan. Kata-kata yang tidak jelas apalagi tidak bulat
tidak menggambarkan sesuatu yang utuh, yang karenanya masih menimbulkan salah
pengertian. Sedang salah pengertian lebih berbahaya dari pada tidak mengerti
samasekali. Dalam hubungan inilah berkata Dr. Sun Yat Sen:
To
say is easy
To
do is difficult
To
understand is more difficult
To
make one understand is most difficult
Untuk dapat memberi
kemudahan seorang muballigh dituntut agar mampu memberikan uraian atau
keterangan sesuai dengan kemampuan daya tangkap audientnya sebagaimana sabda
Nabi s.a.w. :
“Berbicaralah kepada manusia menurut kadar
akal (kecerdasan) mereka masing-masing.”
Perumpamaan-perumpamaan
ringan lagi mudah banyak menunjang uraian yang disampaikan. Allah pun dalam
kitab suci-Nya Al-Qur’an banyak memberikan perumpamaan-perumpamaan yang
nampaknya sepele namun manakala ditafakkuri mempunyai pengertian yang dalam
maknanya, diantaranya dalam al-Qur’an disebutkan: “sesungguhnya Allah tiada
segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau lebih rendah dari itu, Adapun
orang-orang yang beriman, maka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan
mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan :”Apakah maksud Allah menjadikan
ini untuk perumpamaan ?”. Q.S.:2:26 (Kha Syamsuri Siddiq, 1981 : 39)
Kesimpulan
Seperti
yang telah disinggung dalam pendahuluan, bahwa tabligh merupakan bagian dari
metode pendidikan. Hanya saja dalam tabligh tersimpan nilai-nilai Qur’ani,
sehingga pendidikan lewat tabligh ini cenderung Islami. Dari sini diharapkan
para muballigh yang sekaligus pendidik bisa menanamkan prinsip-prinsip
ketauhidan dalam setiap proses pendidikan. Karena hal ini akan memberi nilai
tambah bagi manusia dan menumbuhkan
kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang benar. Sebaliknya
bagi orang yang tidak menjadikan dasar tauhid sebagai dasar pendidikan dalam arti
tidak memiliki pegangan hidup yang benar, maka senmakin lamaia memperdalam
ilmu, Semakin hilang rasa tempat berpijak.
No comments:
Post a Comment